Selasa, 09 Juni 2009

Memoles Keprihatinan Menjadi Keuntungan

Penulis: Herning Banirestu

Awalnya, ia prihatin atas kurang berkembangnya motif dan gaya kain tenun di negeri ini. Ia lantas membuat terobosan dengan mengembangkan kain tenun sutra. Kini, para desainer kondang pun menjadi pelanggannya.

"Saya jatuh hati pada tenun sutra," ujar Wignyo Rahadi. Ketertarikannya pada tenun tumbuh ketika ia bekerja di PT Indojado Pratama (IP), anak perusahaan Grup Salim yang memproduksi benang sutra. Di IP, ia bisa belajar mulai dari tanaman murbei, pemeliharaan ulat sutra, perlakuan benang sutra hingga penenunannya.

Ketertarikan itu pula yang membangkitkan nyalinya untuk meninggalkan posisinya sebagai Manajer Pemasaran IP, kemudian banting setir menjadi pengusaha. Apalagi, manakala mendalami dunia kain tenun, Wignyo mengetahui bahwa di Indonesia kain tenun kurang berkembang baik motif maupun gayanya. Wignyo melihat, negeri ini kaya dengan motif batik yang bagus. Lantas, ia pun terdorong mentransfer motif itu untuk tenun sutra. Mulailah Wignyo melakukan terobosan dalam pewarnaan dan motif dengan menyosialisasi kepada para penenun ataupun pembatik. Namun, ide-ide barunya tidak langsung diterima. Maklumlah, mereka umumnya sulit mengubah pola tradisional. "Tapi itu justru mendorong rasa penasaran saya," ungkap lulusan STIE Rawamangun, Jakarta, tahun 1985 ini.

Mulailah Wignyo mendekati penenun dari Majalaya, Sukabumi. Dari sana, ia bisa lebih tahu seluk-beluk kerajinan tenun. Ia pun menemukan akar persoalannya, yakni keterbatasan kemampuan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang menyebabkan motif tenun kurang berkembang. Ia lalu melakukan modifikasi ATBM, sehingga mampu menghasilkan motif tenun yang lebih kaya. "Alat tenun menjadi lebih simpel. Pemula cukup belajar satu bulan untuk bisa mahir dengan alat ini," ujar Wignyo, yang juga pernah menjabat sebagai internal auditor di holding Grup Salim.

Langkah selanjutnya, Wignyo rajin melakukan pembinaan hampir di seluruh sentra tenun seperti Sengkang (Sulawesi Selatan), Teroso (Jepara), Padang, Garut, hingga sentra-sentra batik di Cirebon, Pekalongan, Lasem (Rembang), Solo dan Yogya. Tak heranlah, ia lantas dikenal sebagai ahli tenun dan sutra hingga menjadi pembicara di berbagai seminar. Itu berlangsung di tahun 1997.

Dua tahun kemudian, 1999, ia mulai memproduksi kain tenun dengan motif kreasinya sendiri. Ia menggunakan akhir pekannya untuk menekuni usaha tenunnya di Majalaya, sebab kala itu ia masih bekerja di IP. Besarnya permintaan mendorong Wignyo membuat pabrik tenun di tahun 2000 dengan 6-7 alat tenun, serta modal awal Rp 150-200 juta. "Investasi besarnya buat beli benang dan peralatan," tutur bapak dua putri yang pernah kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto ini. Namun, ia juga tetap menjalin hubungan dengan para petani sutra di Majalaya, agar komitmennya untuk tetap menggunakan sutra lokal terus berjalan. Terlebih, setelah IP kemudian tutup pada 2000, komitmen itu membuat para petani gembira.

Tidak disangka kain tenun grei (bahan baku) produksinya diminati para desainer, bahkan dilirik oleh salah satu desainer Korea. "Mereka tahunya dari mulut ke mulut," ujarnya. Perkenalan dengan desainer Korea yang Wignyo tidak mau menyebutkan namanya itu, berkat kain hasil tenun yang digunakan oleh salah satu desainer langganannya, Baron Manansang. Sang desainer Korea itu membawa kain tradisional Korea yang dipakai Baron untuk upacara adat. "Kainnya menggunakan serat mosi, jadi ada kelemahan yang membuat kainnya kaku," tutur Wignyo.

Wignyo lantas menenun kain serat itu dengan sutra, sehingga tidak kaku lagi. Terjadilah kerja sama, dan berbagai kain tenun kreasi Wignyo pun terbang ke Negeri Ginseng itu. Bahkan, kala World Cup Korea-Jepang 2002, salah satu penyanyi Korea tampil menggunakan kain tradisional yang sudah dimodifikasi oleh Wignyo. Sayang, kerja sama itu harus diputus oleh Wignyo setelah berlangsung selama tiga tahun, disebabkan adanya ketidaksepakatan dalam sistem pembayaran.

Permintaan kain tenun produksi Wignyo terus meningkat setahun setelah usahanya berdiri hingga mencapai dua kali lipat atau sekitar Rp 50 juta per bulan. Banyaknya permintaan ini memaksanya harus rela menyetrika sendiri bahan yang dipesan pelanggannya. "Subuh saya sudah ditelepon dimintai kain, padahal saya tidak pernah menyetrika, tapi senang saja rasanya," ujar Wignyo mengenang.

Wignyo terbantu modal dengan cara pembayaran para pelanggannya yang menyetor uang muka 50% dari harga pembelian. Ini membuatnya tidak kesulitan lagi untuk membeli benang sutra yang memang mahal. Dan, kelebihan uang yang masuk digunakannya untuk membeli mesin tenun baru. Hasil nyambinya ini ternyata makin besar. Ia pun mulai berhitung, setahun setelah usahanya jalan, ia keluar dari IP. "Oke, saya lebih baik total kalau begitu," kenangnya. Meski begitu, selama dua tahun ia meminta istrinya, Neneng Rihana yang bekerja di PT Ritra, perusahaan cargo, tidak berhenti bekerja agar kantong rumah tangganya tetap aman, sebelum ia yakin benar atas usahanya.

Wignyo tiada henti melakukan terobosan tenun yang belum pernah dilakukan oleh sentra-sentra tenun sutra yang ada. "Saya lakukan teknik songket untuk tenun sutra, begitu juga teknik cabut benang dan kain bordir," paparnya. Di tangannya, kain songket yang terkesan kaku menjadi tidak kaku. Meski motif dan gaya tenunannya terbilang baru, sebenarnya apa yang dilakukannya merupakan pengembangan motif yang sudah ada lalu diterapkan untuk tenun sutra.

Kemajuan pesat baik dari segi bisnis maupun kreativitas motif tenunnya diakui oleh Ghea Sukarya Panggabean, salah satu desainer kondang kita. "Ada potensi cukup bagus dan kreatif," kata desainer yang terkenal dengan gaya etniknya itu memuji. Menurut Ghea, pihaknya selama ini sering memberikan masukan kepada Wignyo. Salah satunya, membuat kain tenun songket sutra yang dipadukan dengan benang emas. Ternyata, menurut pengakuan Ghea, kreasi Wignyo lebih bagus dari yang dia sarankan.

Di atas pabriknya seluas 400-an m2 di atas tanah seluas 2.000-an m2 di Majalaya, Wignyo terus berkreasi. Dengan puluhan mesin tenun tradisional, termasuk mesin tenun modern dan didukung lebih dari 70 tenaga kerja yang sebagian besar wanita dan remaja putus sekolah, kini sekitar 600 motif baru gagasannya lahir. "Saya coba terobosan baru yang akan saya luncurkan September nanti, yaitu pola baju diaplikasi di bahan tenun. Ini belum ada yang melakukan," ungkapnya.

Wignyo kini banyak memasok rumah mode dan desainer dalam bentuk bahan grei atau bahan dasar kain tenun. Wignyo selalu mau mendengar dan belajar dari para desainer bagaimana membuat kain yang jatuhnya enak di badan. Beberapa yang dipasok bahan dasar tenunnya antara lain Bin House, Danar Hadi, serta para pembatik di Yogya, Solo dan Cirebon. Khusus Bin House, ia rutin memasok kain grei 500-600 meter per bulannya. "Saya juga diminta oleh para desainer membuat motif-motif khusus untuk menunjang rancangan mereka," kata Wignyo.

Para pelanggan mengenal hasil tenunannya dengan sebutan Kain Tenun Wignyo, karena ia belum menggunakan merek dagang. Mulai tahun 2002, ia mengeluarkan produk tenun siap pakai (busana) dengan merek Gaya Tenun. Merek ini diambil dari nama anak keduanya, Gaya Tri Puspita, yang kini berumur 8 tahun. Pameran hasil produksinya di Yayasan Sekar Saji pada tahun 2002 menjadi momen berharga baginya, karena saat itulah hasil tenunannya dikenal orang.

"Tenunan Mas Wignyo tidak pasaran," ujar Tuti Kuntoro, salah satu pelanggan setianya memuji. Istri mantan Mentamben Kuntoro Mangkusubroto ini menjadi pelanggan Wignyo sejak dua tahun silam, hingga rutin hampir setiap bulan membeli tenunan produksi Gaya Tenun. Ia merasa selalu puas dengan pelayanan dan produk tenunan Wignyo. "Bisa main warna dan pesan sesuai dengan keinginan," kata wanita yang pernah sekali belanja Rp 1,7 juta untuk satu setel pakaian itu.

Desainer Ghea menyarankan agar Wignyo mau lebih terbuka bekerja sama dengan para desainer. Supaya memperoleh masukan lebih banyak tentang berbagai desain tenun yang bagus. "Tapi identitas tetap harus ditonjolkan, harus punya ciri khas sendiri," ujar Ghea. Apalagi, tambahnya, banyak motif kain Indonesia yang belum digali. Dan itu pulalah yang menjadi bahan kreasi Wignyo selanjutnya.

Berkat kreativitas Wignyo, hasil tenunannya kini bisa ditemui di beberapa negara tetangga seperti Jepang, Malaysia dan Singapura. Tanpa mau menyebut nilai uangnya, Wignyo mengatakan bahwa kirimannya bukan dalam ekspor besar, jumlahnya masing-masing negara sekitar 30-50 setel pakaian per bulan. Semuanya dikirim untuk beberapa rumah mode di sana, antara lain Anggun, Tong Bang Saupi, dan beberapa plaza di Jepang.

Wignyo sempat tidak percaya kerja sama dengan orang luar, sebab ia trauma sejak ditipu oleh desainer Korea tersebut. Ia ambil aman saja, tidak ingin kerja sama lebih jauh dengan pemain luar. Gaya Tenun memiliki tiga gerai yakni di Hotel Regent, Four Seasons Bali dan Cilandak Town House. "Akhir bulan ini akan dibuka lagi di sekitar Menteng," kata Wignyo.

Tak heranlah, kisaran harga produk tenun sutra Wignyo lumayan tinggi, Rp 500 ribu hingga p 2,5 juta untuk satu selendang. Adapun untuk produk bukan sutra sekitar Rp 60 ribu per meter. Berbagai tempat prestisius tersebut tertarik pada keunikan produk Wignyo, sehingga merekalah yang meminta Wignyo untuk membuka butik hasil karyanya di sana.

Gaya manajemen yang diterapkan Wignyo masih kekeluargaan. Belum ada struktur organisasi, mengingat sebagian pekerjanya para ibu rumah tangga dan remaja putus sekolah. Gaya manajemen modern yang ditimbanya semasa jadi profesional, belum diterapkan di usahanya sendiri.. "Pemasaran saja saya lakukan sendiri," ujarnya. Kini, pabrik yang dikunjungi selama tiga hari dalam sepekan ini memiliki kapasitas produksi 2.000 meter per bulan. Namun tidak semuanya sutra, hanya sekitar 40% tenun sutra. Bahan lain yang digunakan antara lain benang rami, vikos, katun dan sebagainya. Dari seluruh produksinya, sekitar 30% kain tenun grei buatannya digunakan pembatik dan desainer seperti Carmanita, Ghea dan Thomas Cigar.


SWA 18/XX/ 2 September 2004
Halaman: 104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar