Selasa, 09 Juni 2009

Menyulap Gedung Lusuh Jadi Menggiurkan

Di tangannya, gedung yang kurang produktif disulap menjadi menguntungkan. Salah satunya, Gedung Granadha yang kini menjadi Plaza Semanggi. Padahal, usianya belum genap 30 tahun kala memulai bisnisnya di bidang asset management

Entrepreneur must begin before 30. Begitulah Budi Yanto Lusli meyakinkan istrinya yang baru dinikahinya sebulan kala ingin membangun usaha sendiri. Ia salah satu dari sedikit mantan profesional muda yang berhasil menjadi pengusaha, padahal ia tak punya modal besar ketika itu. “Kalau memulai usaha ketika muda, apabila gagal masih mungkin kembali menjadi profesional,” kata Budi.

Awalnya, layaknya sarjana baru, ia mencari pekerjaan sesuai dengan latar belakang studinya di bidang teknik sipil. Namun, ia hanya mampu bertahan tiga bulan di pekerjaan yang berkaitan dengan teknik sipil sebagai konsultan di proyek pabrik Indah Kiat Pulp & Paper di Pekanbaru. “Tidak banyak berhubungan dengan orang,” ujarnya beralasan.

Maka, selepas sekolah master bisnis di IPPM, Budi bergabung dengan Grup Ciputra. Dengan beberapa orang, ia diberi tanggung jawab sebagai Marketing Executive di Mal Citraland. Bagi lulusan Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung, ini bukan hal baru menjajakan suatu produk. Saat masih kuliah, ia nyambi bekerja dengan menawarkan produk garmen milik kerabatnya ke berbagai department store. Latar belakang itu sangat membantunya, hingga ia bisa dipercaya menjadi Manajer Pemasaran dan Promosi Mal Citraland. “Di sana orangnya sedikit, sehingga saya bisa belajar banyak,” ujar kelahiran Jakarta, 29 Desember 1965, ini mengenang.

Namun, menjelang Mal Citraland berdiri, ia malah mengundurkan diri. Tepatnya, di tahun ketiga ia bergabung di salah satu usaha Ciputra tersebut. Sebelum keluar dari sana, Budi bersama empat rekannya -- salah satunya, Suwito Santoso, seniornya di Mal Citraland -- melakukan beberapa studi untuk mendirikan usaha, yaitu ProLease. Tahun 1992 ia memulai satu lompatan hidup, dengan membuka usaha sendiri saat usianya baru menginjak 28 tahun. Ada pikiran sederhana yang mendorongnya ganti haluan dari profesional menjadi pengusaha. “Wah, enak nih kalau bisa punya mal, tinggal tunggu orang bayar sewa,” ungkapnya.

Mimpi itu terwujud 12 tahun kemudian. Budilah salah satu otak di balik bangunan megah yang mendampingi Balai Sarbini saat ini, yakni Plaza Semanggi. “Memang itu bidang yang saya kuasai dan kebetulan network-nya juga ada,” katanya. Pengembangan bisnis, menurutnya, harus didasarkan keahlian dan keunggulan kompetitif yang dikuasai. Baginya, kedua hal itu sangat penting dimiliki orang sepertinya yang lahir bukan dari kalangan serba mudah untuk mewujudkan sesuatu. “Saya dan rekan bekerja hingga pukul 1 malam,” katanya bersemangat.

Menempati ruang seluas 24 m2 di lantai dasar Jakarta Design Center, Slipi, waktu itu usaha ProLease dimulai dengan modal sekitar Rp 20 juta. Awalnya, belum ada fokus usaha yang digarapnya. Selain ProLease, ia sempat menjajal bidang perdagangan, walau gagal. Budi juga sempat menggarap foodcourt management dengan nama Food Station, dan ini pula yang mendorongnya keluar dari Mal Citraland karena ingin fokus mengelola foodcourt management

Foodcourt saat itu berbeda dari sekarang yang dikelola oleh pemilik gedungnya. “Waktu itu terpisah, foodcourt management menyewa space, kursi, meja, lalu dicari penyewa, melakukan promosi dan menggarap konsepnya,” katanya. Krisis moneter membuat manajemen sulit bergerak karena sewa ruangnya dalam dolar. Untungnya, pada Maret 1997, sebelum dolar melambung, ia sudah membenahi foodcourt management-nya.

“Berbagai kegagalan tersebut mengajarkan saya untuk fokus,” ujar Budi. ProLease kemudian digarapnya lebih serius. Kebetulan pada awal 1992 ProLease dipercaya menggarap Plaza Malioboro. Secara keseluruhan plaza di Kota Gudeg itu digarap ProLease mulai dari desain, layout, hingga pemasarannya. “Kami hitung-hitung lumayan juga untungnya,” ujarnya tanpa mau menyebut angka. Bisa dibilang, Plaza Malioboro menjadi tonggak sukses usahanya.

Dalam perjalanannya, ProLease menjadi usaha yang membidangi studi kelayakan, agensi dan property atau asset management. Bidang terakhir ternyata menjadi kelebihan ProLease. Krismon 1997 membuat banyak orang menahan diri membangun gedung atau pusat perbelanjaan baru. Waktu itu, banyak kliennya yang sedang dalam studi kelayakan atau membangun atau bahkan sedang memasarkan produk akhirnya mundur satu per satu. Namun, meski kondisi sulit, ProLease mampu bertahan, bahkan tidak mem-PHK seorang pun karyawannya. “Saya ubah strategi agency-nya,” kata Budi. Yakni, melayani developer atau penyewa besar. Saat itu, ia bertemu dengan penyewa besar yang sedang berekspansi. Salah satunya, Continental (sekarang menjadi Carrefour setelah meger), pasar modern asal Prancis yang sedang giat berekspansi ke kawasan Asia. Dari 7 lokasi yang dipilih Continental, empat lokasi diserahkan penggarapannya kepada ProLease, yaitu di Pluit, Ratu Plaza, Lebak Bulus dan Puri Indah.

“Kami pegang prinsip, tidak akan menerima klien dengan tipe usaha yang sama,” katanya. Idealisme juga dipegang kuat, misalnya ketika suatu proyek dinilainya tidak layak, ia akan terus terang kepada klien. Padahal, bisa saja ia menutupi-nutupinya agar bisnis tetap jalan. Pernah suatu ketika, salah satu kliennya ingin membangun proyek di Cimone. Setelah studi kelayakan, proyek itu dianggap tidak layak. “Tidak saya lanjutkan, meski mereka mau maju terus karena merasa ada uangnya,” katanya mengenang.

Keteguhan Budi memegang prinsip diakui Richard Oh, salah satu kliennya hingga kini. Pemilik QB World Book itu menilai Budi memiliki integritas tinggi dan benar-benar tipe orang yang bisa dipercaya. “Dia selalu berpikir untuk kliennya, bukan semata keuntungan. Dia juga sangat pintar dalam segala hal, sikapnya membuat orang percaya dan mau bekerja sama dengannya,” kata Richard yang mengenal Budi 15 tahun lamanya.

Satu keahlian Budi yang tidak dimiliki orang lain adalah membuat aset yang tidak produktif (unutilize building) atau tidak optimal (unoptimalize) menjadi lebih menguntungkan. Beberapa gedung digarapnya, bahkan ia berani investasi sendiri untuk memoles kembali aset-aset yang tidak terpakai atau tidak optimal pemakaiannya. Proyek pertama yang dikerjakannya adalah Graha Asia Work pada 1999. “Gedung itu kusam, tidak terlihat sebelumnya,” ujarnya. Pihak Asia Work saat itu menginginkan gedung yang mampu menggambarkan citranya kendati posisinya di belakang Gedung Sarinah, Thamrin. Budi toh bisa memenuhi hal tersebut. “Gedung itu identik dengan desain kartu nama mereka, apalagi mereka memang membutuhkan ruang luas untuk training center,” ujar ayah dua anak ini. Budi mengeluarkan investasi sendiri untuk me-redevelop dan me-remerchandise gedung tersebut. Guna menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan, ruang bawah gedung tersebut disewakan kepada beberapa pihak seperti Toko Sepatu Bata, Valu$, dan beberapa toko kelontong. “Valu$ di sana menjadi proyek pertama toko berharga sama, lho,” katanya.

Demikian juga dengan Richard Oh, yang meminta Budi mencarikan gedung yang bisa di-retouch untuk QB World Plaza-nya di Pondok Indah. Budi menemukan gedung bekas restoran Country Kitchen sebagai lokasi yang cocok. Hasilnya, gedung dengan warna-warna cerah di arteri Pondok Indah itu menjadi khas QB World Plaza. Tambahan lagi, tanah di belakang restoran tersebut, menurut Budi, ada potensi dioptimalkan kegunaannya. “Kami bangun lagi, lalu dicarikan penyewa lainnya,” ujarnya. Hasilnya, hadirlah Tutor Times, sekolah balita waralaba dari Amerika Serikat, dan pusat perawatan tubuh.

Proyek selanjutnya, ProLease dipercaya mengembangkan tanah seluas 5 ribu m2 di Pulo Mas menjadi plaza. Maka, jadilah Super Indo dan berbagai toko baju untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Plaza Pulo Mas. Lalu, bangunan bekas Toko Sahabat, yang terbakar pada Mei 1998, disentuh kembali oleh ProLease pada 2001 menjadi Plaza Taman Modern yang di dalamnya juga ada Super Indo, Pojok Busana, Valu$, Optik Melawai dan pusat jajan.

Proyek terakhir sekaligus terbesar yang digarap Budi adalah menyulap Graha Purna Yudha (Granadha) di kawasan Semanggi dari gedung tak terpakai menjadi kawasan bisnis besar, Plaza Semanggi. Bermitra dengan beberapa pengusaha seperti Grup Piko, Hari Darmawan Corporation, CNI dan PT Agung Podomoro, ia menjadikan gedung kusam tak terpakai milik Yayasan Gedung Veteran RI tersebut menjadi megah dan indah. “Balai Sarbini jadi dilihat orang lagi, apalagi setelah dijadikan tempat konser spektakuler Indonesian Idol,” ujarnya. Sejatinya, ia dan Hari Darmawan hanya ingin merenovasi gedung bersejarah itu. Hanya saja, mereka punya perjanjian, dalam 5 tahun ke depan sudah bisa menarik investor baru. “Nyatanya, belum 5 tahun investor lain sudah bergabung,” ujarnya sambil tertawa.

Menurutnya, konsep asset management yang dikelolanya tidak sama dengan asset management di AS. “Di sana dibolehkan untuk collecting fund, semacam mutual fund, biasanya disebut real estate investment trust. Di sini tidak bisa, dasar hukumnya belum ada,” katanya. Jadi, asset management yang dikelola Budi hanya melakukan value enhancement. Maksudnya, usaha peningkatan nilai demi mencapai nilai maksimum suatu properti dengan melakukan value creationredevelopment, remerchandising atau perpaduan ketiganya. Keterbatasan aturan di sini membuat Budi harus menyiasatinya dengan lebih jeli untuk memaksimalkan aset yang ada. “Kami menggunakan dana kami sendiri, tapi tidak bisa memindahkan aset itu di bawah kami, hanya bekerja sama dengan pemilik gedung,” katanya.

Bentuk kerja sama itu bisa macam-macam, misalnya bagi hasil, BOT atau sewa jangka panjang. “Variannya pun banyak. Ini juga tergantung titik temu kami dengan pemilik. Mereka kan punya keinginan sendiri,” ujarnya. Hak yang dimiliki ProLease bersifat sementara, jadi tidak bisa menjualnya ke pihak lain. Perjanjian dengan si penyewa -- seperti Asia Works atau QB World Book -- bentuknya beragam. Bisa fix rental, revenue sharing atau bentuk lainnya. Asia Works dan QB World Book, lanjutnya, merupakan penyewa utama (anchor tenant) atas gedung yang digunakan. “Kami tidak akan muncul sebagai asset management gedung tersebut, biarlah si penyewa menikmati kalau gedung tersebut milik mereka,” jelasnya.

Budi mengakui, tidak semua proyeknya berjalan mulus. Plaza Taman Modern di Cakung, misalnya, tidak pas lokasi dan pasarnya. Namun, “Kami sudah selesaikan baik-baik,” ujar pehobi membaca buku ini. Kegagalan ini diakuinya memberi pelajaran tersendiri dalam mengelola bisnis asset management.

Belakangan, kian banyak pemilik uang yang ingin berinvestasi di properti, antara lain di pusat perbelanjaan, hotel, apartemen dan town square. Sebelumnya, pemilik gedung tidak mau menginvestasikan dananya karena mereka tidak mau mengambil risiko. Melihat ini, ProLease yang memiliki jasa konsultan properti, mulai menggiatkan layanan yang sebelumnya kurang bergairah. “Kami akui, asset management sedang turun,” tuturnya. Untungnya, Budi mendapat proyek besar pada akhir 2003, Plaza Semanggi, yang sekaligus membangkitkan kembali usaha yang sebelumnya lama tertidur bersama rekannya Satria Djuanedi. Lalu, di bawah PT Intersatria Budi Perkasa Mulia, dibangunlah Apartemen Casablanca Mansion sebanyak 572 unit di atas tanah seluas 8 ribu m2 yang menghabiskan dana sekitar Rp 200 miliar. “Saya rasa Budi itu figur yang bukan sekadar kontraktor tapi juga punya keahlian marketing, arsitektur dan sangat profesional,” puji Satria.

Bisnis yang dikelola Budi memang tidak gampang. “Mereka kan bukan orang yang tidak punya uang, hanya ditahan saja untuk investasi. Susahnya, setelah mereka percaya, eh minta tambah keuntungannya, repot kan,” katanya sambil terbahak. Di mata dia, jaringan bisnis menjadi kunci utama keberhasilannya. “Proyek bisa berjalan baik berkat orang-orang yang membantu kami, baik konsultan, agensi, penyewa maupun kontraktor,” ungkapnya.

SWA 18/XX/ 2 September 2004
Halaman: 116
Penulis: Herning Banirestu

Memoles Keprihatinan Menjadi Keuntungan

Penulis: Herning Banirestu

Awalnya, ia prihatin atas kurang berkembangnya motif dan gaya kain tenun di negeri ini. Ia lantas membuat terobosan dengan mengembangkan kain tenun sutra. Kini, para desainer kondang pun menjadi pelanggannya.

"Saya jatuh hati pada tenun sutra," ujar Wignyo Rahadi. Ketertarikannya pada tenun tumbuh ketika ia bekerja di PT Indojado Pratama (IP), anak perusahaan Grup Salim yang memproduksi benang sutra. Di IP, ia bisa belajar mulai dari tanaman murbei, pemeliharaan ulat sutra, perlakuan benang sutra hingga penenunannya.

Ketertarikan itu pula yang membangkitkan nyalinya untuk meninggalkan posisinya sebagai Manajer Pemasaran IP, kemudian banting setir menjadi pengusaha. Apalagi, manakala mendalami dunia kain tenun, Wignyo mengetahui bahwa di Indonesia kain tenun kurang berkembang baik motif maupun gayanya. Wignyo melihat, negeri ini kaya dengan motif batik yang bagus. Lantas, ia pun terdorong mentransfer motif itu untuk tenun sutra. Mulailah Wignyo melakukan terobosan dalam pewarnaan dan motif dengan menyosialisasi kepada para penenun ataupun pembatik. Namun, ide-ide barunya tidak langsung diterima. Maklumlah, mereka umumnya sulit mengubah pola tradisional. "Tapi itu justru mendorong rasa penasaran saya," ungkap lulusan STIE Rawamangun, Jakarta, tahun 1985 ini.

Mulailah Wignyo mendekati penenun dari Majalaya, Sukabumi. Dari sana, ia bisa lebih tahu seluk-beluk kerajinan tenun. Ia pun menemukan akar persoalannya, yakni keterbatasan kemampuan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang menyebabkan motif tenun kurang berkembang. Ia lalu melakukan modifikasi ATBM, sehingga mampu menghasilkan motif tenun yang lebih kaya. "Alat tenun menjadi lebih simpel. Pemula cukup belajar satu bulan untuk bisa mahir dengan alat ini," ujar Wignyo, yang juga pernah menjabat sebagai internal auditor di holding Grup Salim.

Langkah selanjutnya, Wignyo rajin melakukan pembinaan hampir di seluruh sentra tenun seperti Sengkang (Sulawesi Selatan), Teroso (Jepara), Padang, Garut, hingga sentra-sentra batik di Cirebon, Pekalongan, Lasem (Rembang), Solo dan Yogya. Tak heranlah, ia lantas dikenal sebagai ahli tenun dan sutra hingga menjadi pembicara di berbagai seminar. Itu berlangsung di tahun 1997.

Dua tahun kemudian, 1999, ia mulai memproduksi kain tenun dengan motif kreasinya sendiri. Ia menggunakan akhir pekannya untuk menekuni usaha tenunnya di Majalaya, sebab kala itu ia masih bekerja di IP. Besarnya permintaan mendorong Wignyo membuat pabrik tenun di tahun 2000 dengan 6-7 alat tenun, serta modal awal Rp 150-200 juta. "Investasi besarnya buat beli benang dan peralatan," tutur bapak dua putri yang pernah kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto ini. Namun, ia juga tetap menjalin hubungan dengan para petani sutra di Majalaya, agar komitmennya untuk tetap menggunakan sutra lokal terus berjalan. Terlebih, setelah IP kemudian tutup pada 2000, komitmen itu membuat para petani gembira.

Tidak disangka kain tenun grei (bahan baku) produksinya diminati para desainer, bahkan dilirik oleh salah satu desainer Korea. "Mereka tahunya dari mulut ke mulut," ujarnya. Perkenalan dengan desainer Korea yang Wignyo tidak mau menyebutkan namanya itu, berkat kain hasil tenun yang digunakan oleh salah satu desainer langganannya, Baron Manansang. Sang desainer Korea itu membawa kain tradisional Korea yang dipakai Baron untuk upacara adat. "Kainnya menggunakan serat mosi, jadi ada kelemahan yang membuat kainnya kaku," tutur Wignyo.

Wignyo lantas menenun kain serat itu dengan sutra, sehingga tidak kaku lagi. Terjadilah kerja sama, dan berbagai kain tenun kreasi Wignyo pun terbang ke Negeri Ginseng itu. Bahkan, kala World Cup Korea-Jepang 2002, salah satu penyanyi Korea tampil menggunakan kain tradisional yang sudah dimodifikasi oleh Wignyo. Sayang, kerja sama itu harus diputus oleh Wignyo setelah berlangsung selama tiga tahun, disebabkan adanya ketidaksepakatan dalam sistem pembayaran.

Permintaan kain tenun produksi Wignyo terus meningkat setahun setelah usahanya berdiri hingga mencapai dua kali lipat atau sekitar Rp 50 juta per bulan. Banyaknya permintaan ini memaksanya harus rela menyetrika sendiri bahan yang dipesan pelanggannya. "Subuh saya sudah ditelepon dimintai kain, padahal saya tidak pernah menyetrika, tapi senang saja rasanya," ujar Wignyo mengenang.

Wignyo terbantu modal dengan cara pembayaran para pelanggannya yang menyetor uang muka 50% dari harga pembelian. Ini membuatnya tidak kesulitan lagi untuk membeli benang sutra yang memang mahal. Dan, kelebihan uang yang masuk digunakannya untuk membeli mesin tenun baru. Hasil nyambinya ini ternyata makin besar. Ia pun mulai berhitung, setahun setelah usahanya jalan, ia keluar dari IP. "Oke, saya lebih baik total kalau begitu," kenangnya. Meski begitu, selama dua tahun ia meminta istrinya, Neneng Rihana yang bekerja di PT Ritra, perusahaan cargo, tidak berhenti bekerja agar kantong rumah tangganya tetap aman, sebelum ia yakin benar atas usahanya.

Wignyo tiada henti melakukan terobosan tenun yang belum pernah dilakukan oleh sentra-sentra tenun sutra yang ada. "Saya lakukan teknik songket untuk tenun sutra, begitu juga teknik cabut benang dan kain bordir," paparnya. Di tangannya, kain songket yang terkesan kaku menjadi tidak kaku. Meski motif dan gaya tenunannya terbilang baru, sebenarnya apa yang dilakukannya merupakan pengembangan motif yang sudah ada lalu diterapkan untuk tenun sutra.

Kemajuan pesat baik dari segi bisnis maupun kreativitas motif tenunnya diakui oleh Ghea Sukarya Panggabean, salah satu desainer kondang kita. "Ada potensi cukup bagus dan kreatif," kata desainer yang terkenal dengan gaya etniknya itu memuji. Menurut Ghea, pihaknya selama ini sering memberikan masukan kepada Wignyo. Salah satunya, membuat kain tenun songket sutra yang dipadukan dengan benang emas. Ternyata, menurut pengakuan Ghea, kreasi Wignyo lebih bagus dari yang dia sarankan.

Di atas pabriknya seluas 400-an m2 di atas tanah seluas 2.000-an m2 di Majalaya, Wignyo terus berkreasi. Dengan puluhan mesin tenun tradisional, termasuk mesin tenun modern dan didukung lebih dari 70 tenaga kerja yang sebagian besar wanita dan remaja putus sekolah, kini sekitar 600 motif baru gagasannya lahir. "Saya coba terobosan baru yang akan saya luncurkan September nanti, yaitu pola baju diaplikasi di bahan tenun. Ini belum ada yang melakukan," ungkapnya.

Wignyo kini banyak memasok rumah mode dan desainer dalam bentuk bahan grei atau bahan dasar kain tenun. Wignyo selalu mau mendengar dan belajar dari para desainer bagaimana membuat kain yang jatuhnya enak di badan. Beberapa yang dipasok bahan dasar tenunnya antara lain Bin House, Danar Hadi, serta para pembatik di Yogya, Solo dan Cirebon. Khusus Bin House, ia rutin memasok kain grei 500-600 meter per bulannya. "Saya juga diminta oleh para desainer membuat motif-motif khusus untuk menunjang rancangan mereka," kata Wignyo.

Para pelanggan mengenal hasil tenunannya dengan sebutan Kain Tenun Wignyo, karena ia belum menggunakan merek dagang. Mulai tahun 2002, ia mengeluarkan produk tenun siap pakai (busana) dengan merek Gaya Tenun. Merek ini diambil dari nama anak keduanya, Gaya Tri Puspita, yang kini berumur 8 tahun. Pameran hasil produksinya di Yayasan Sekar Saji pada tahun 2002 menjadi momen berharga baginya, karena saat itulah hasil tenunannya dikenal orang.

"Tenunan Mas Wignyo tidak pasaran," ujar Tuti Kuntoro, salah satu pelanggan setianya memuji. Istri mantan Mentamben Kuntoro Mangkusubroto ini menjadi pelanggan Wignyo sejak dua tahun silam, hingga rutin hampir setiap bulan membeli tenunan produksi Gaya Tenun. Ia merasa selalu puas dengan pelayanan dan produk tenunan Wignyo. "Bisa main warna dan pesan sesuai dengan keinginan," kata wanita yang pernah sekali belanja Rp 1,7 juta untuk satu setel pakaian itu.

Desainer Ghea menyarankan agar Wignyo mau lebih terbuka bekerja sama dengan para desainer. Supaya memperoleh masukan lebih banyak tentang berbagai desain tenun yang bagus. "Tapi identitas tetap harus ditonjolkan, harus punya ciri khas sendiri," ujar Ghea. Apalagi, tambahnya, banyak motif kain Indonesia yang belum digali. Dan itu pulalah yang menjadi bahan kreasi Wignyo selanjutnya.

Berkat kreativitas Wignyo, hasil tenunannya kini bisa ditemui di beberapa negara tetangga seperti Jepang, Malaysia dan Singapura. Tanpa mau menyebut nilai uangnya, Wignyo mengatakan bahwa kirimannya bukan dalam ekspor besar, jumlahnya masing-masing negara sekitar 30-50 setel pakaian per bulan. Semuanya dikirim untuk beberapa rumah mode di sana, antara lain Anggun, Tong Bang Saupi, dan beberapa plaza di Jepang.

Wignyo sempat tidak percaya kerja sama dengan orang luar, sebab ia trauma sejak ditipu oleh desainer Korea tersebut. Ia ambil aman saja, tidak ingin kerja sama lebih jauh dengan pemain luar. Gaya Tenun memiliki tiga gerai yakni di Hotel Regent, Four Seasons Bali dan Cilandak Town House. "Akhir bulan ini akan dibuka lagi di sekitar Menteng," kata Wignyo.

Tak heranlah, kisaran harga produk tenun sutra Wignyo lumayan tinggi, Rp 500 ribu hingga p 2,5 juta untuk satu selendang. Adapun untuk produk bukan sutra sekitar Rp 60 ribu per meter. Berbagai tempat prestisius tersebut tertarik pada keunikan produk Wignyo, sehingga merekalah yang meminta Wignyo untuk membuka butik hasil karyanya di sana.

Gaya manajemen yang diterapkan Wignyo masih kekeluargaan. Belum ada struktur organisasi, mengingat sebagian pekerjanya para ibu rumah tangga dan remaja putus sekolah. Gaya manajemen modern yang ditimbanya semasa jadi profesional, belum diterapkan di usahanya sendiri.. "Pemasaran saja saya lakukan sendiri," ujarnya. Kini, pabrik yang dikunjungi selama tiga hari dalam sepekan ini memiliki kapasitas produksi 2.000 meter per bulan. Namun tidak semuanya sutra, hanya sekitar 40% tenun sutra. Bahan lain yang digunakan antara lain benang rami, vikos, katun dan sebagainya. Dari seluruh produksinya, sekitar 30% kain tenun grei buatannya digunakan pembatik dan desainer seperti Carmanita, Ghea dan Thomas Cigar.


SWA 18/XX/ 2 September 2004
Halaman: 104

Gurihnya Bisnis SMS Interaktif

Penulis: Herning Banirestu


Demam SMS semakin merasuk acara-acara di TV. Setelah Akademi Fantasi Indosiar (AFI) menuai sukses, acara-acara lain pun mencoba jurus serupa dengan menggunakan short number berharga premium. Antara lain: AFI Junior, Indonesian Idol di RCTI, Kontes Dangdut Indonesia (KDI) di TPI, Kuis Campur-Campur, Kuis Kocok-kocok, hingga berbagai kuis di media cetak dan radio. Keuntungannya memang lumayan. Saat grand final konser AFI, misalnya, 1,2 juta SMS mengalir senilai tak kurang Rp 4 miliar. Tak heran, ada 107 penyedia konten (content provider) yang mendukung layanan SMS premium itu.


Contohnya Visitel dari PT Indika Telemedia. “Tiap minggu kami mengerjakan 20 hingga 30 program,” ungkap Eka Veronica, Kepala Grup SBU PT Indika Telemedia. Sebenarnya, interaktif via SMS dilakukan Visitel sejak dua tahun lalu. “World Cup 2002 di RCTI dengan tarif Rp 1.000 per SMS adalah acara televisi pertama yang kami dukung,” ujarnya. Sejak itu, Eka menjajaki bisnis SMS secara lintas operator. Bahkan, kerja sama meluas tak hanya dengan televisi swasta berskala nasional, tapi juga stasiun televisi lokal seperti TV Manado dan TV Bali. Acara yang didukung terutama kuis dan pooling. “Justru saat ini kuis dan pooling yang banyak menggunakannya,” kata Eka.

Memang, hampir semua operator sudah bekerja sama dengan Visitel, termasuk Lipotelkom di Surabaya dan operator CDMA (Esia, Mobile 8), dengan dua short number yang digunakan yaitu 3949 (tarif Rp 1.000/SMS) dan 3977 (tarif Rp 2.000/SMS). Acara yang menggunakan nomor 3977 antara lain Model IndonesiaKuis Campur-Campur di ANTV, Kuis Kocok-Kocok di SCTV, kuis di Tabloid Bola dan Kuis Siapa Berani (Indosiar). Pengguna nomor 3949 antara lain poolingGenerasi Biang (Genbi) Extra Joss, Kuis Euro (saat Piala Eropa) dan kuis di Kompas.

Memang, nomor yang sama bisa digunakan untuk beberapa acara. Untuk membedakan, digunakan header yang berbeda. Header adalah kata pertama yang diketik sebelum jawaban kuis atau nama pooling yang dipilih. Seperti AFI untuk Akademi Fantasi Indonesia, Junior untuk AFI Junior, KSB untuk Kuis Siapa Beran dan Model untuk Model Indonesia. Dan, banyak-sedikitnya SMS yang masuk tergantung program acaranya. Ada acara yang membatasi SMS yang masuk. Pooling calon presiden, misalnya, membatasi satu nomor untuk satu suara, sedangkan Indonesian Idol membatasi waktu SMS hanya pukul 20.00-22.00 pada saat konser spektakuler digelar.

Pilihan tarif SMS tergantung kebutuhan pemilik program. Bila hadiahnya besar, promosinya gencar dan pemilik program memperkirakan banyak peminat, mungkin tarifnya dipilih Rp 1.000. Ada juga yang memilih tarif Rp 2.000 karena programnya agak eksklusif dan berhadiah besar sehingga layak bila pemirsa ditarik lebih tarif tinggi.

Besarnya peminat (media elektronik ataupun cetak) mendorong Visitel fokus di bisnis ini. Untuk pengembangannya, ditempuh dua cara. Pertama, aktif menawarkan interaksi yang dimiliki Visitel lalu dicocokkan dengan program yang dimiliki media pemilik program. Kedua, media memiliki program yang membutuhkan dukungan SMS interaktif, lalu datang ke penyedia konten.

Kerja sama terjadi antara tiga pihak, yaitu media pemilik program, penyedia konten dan operator seluler. Namun, perjanjian antarmereka dilakukan terpisah. “Media pemilik program hanya berurusan dengan Visitel, tidak berhubungan dengan operator selulernya,” ujar Eka. Sementara itu, kerja sama dengan operator seluler sebagai penyedia jalur SMS atau short number-nya dilakukan oleh penyedia konten, yang kemudian menjelaskan kepada media pemilik program secara detail informasi kuis yang akan dimunculkan dan bagaimana menginformasikannya agar mengena. Setelah itu, program diinformasikan kepada operator seluler oleh penyedia konten. Barulah operator seluler mempersiapkan jalur dan short number-nya.

Perjanjian kerja sama antara operator seluler dengan penyedia konten dilakukan di awal kerja. Isinya mencakup revenue sharing dan pembagian kerja selama setahun. “Repot nantinya kalau per program acara,” ujar ibu satu putra ini. Namun Eka tidak bersedia menjelaskan bagaimana pembagian keuntungan antara media dan operator seluler. Secara garis besar, untuk setiap SMS yang masuk dikurangi basic access yang berbeda nilainya, untuk prabayar Rp 350/SMS dan Rp 250/SMS untuk pascabayar. Sisanya baru dibagi berdasarkan persentase pembagian keuntungan seperti tertulis dalam perjanjian awal tadi. “Maaf saya tidak bisa ungkap berapa persentasenya, nanti ketahuan berapa keuntungannya,” ujar Eka mengelak sambil tertawa.

Sebagai operator seluler, “Kami hanya mengatur agar SMS dari pelanggan sampai ke content provider, dan jawaban balasan SMS dari content provider

Terbatasnya short number membuat operator seluler mengatur batasan minimum SMS yang harus masuk. “Minimal 300 ribu SMS per bulan untuk bisa membuka nomor khusus, tapi bisa dinegosiasi,” ujar Erik. Ini karena besarnya upaya yang harus dilakukan seperti membuka nomor baru, melakukan roating

dan AFI di Indosiar, kembali ke pelanggan. Dan melakukan penagihan ke konsumen atas SMS yang dikirim,” papar Erik Meijer, VP Pemasaran Telkomsel. ke seluruh Indonesia, mengatur penarikannya, membangun sistem untuk mengatur lalu lintas, proses pembayaran, administrasi SMS, dan sebagainya.

Tren & Analisis

SWA 17/XX/ 19 Agustus 2004

Halaman: 16