Selasa, 09 Juni 2009

Menyulap Gedung Lusuh Jadi Menggiurkan

Di tangannya, gedung yang kurang produktif disulap menjadi menguntungkan. Salah satunya, Gedung Granadha yang kini menjadi Plaza Semanggi. Padahal, usianya belum genap 30 tahun kala memulai bisnisnya di bidang asset management

Entrepreneur must begin before 30. Begitulah Budi Yanto Lusli meyakinkan istrinya yang baru dinikahinya sebulan kala ingin membangun usaha sendiri. Ia salah satu dari sedikit mantan profesional muda yang berhasil menjadi pengusaha, padahal ia tak punya modal besar ketika itu. “Kalau memulai usaha ketika muda, apabila gagal masih mungkin kembali menjadi profesional,” kata Budi.

Awalnya, layaknya sarjana baru, ia mencari pekerjaan sesuai dengan latar belakang studinya di bidang teknik sipil. Namun, ia hanya mampu bertahan tiga bulan di pekerjaan yang berkaitan dengan teknik sipil sebagai konsultan di proyek pabrik Indah Kiat Pulp & Paper di Pekanbaru. “Tidak banyak berhubungan dengan orang,” ujarnya beralasan.

Maka, selepas sekolah master bisnis di IPPM, Budi bergabung dengan Grup Ciputra. Dengan beberapa orang, ia diberi tanggung jawab sebagai Marketing Executive di Mal Citraland. Bagi lulusan Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung, ini bukan hal baru menjajakan suatu produk. Saat masih kuliah, ia nyambi bekerja dengan menawarkan produk garmen milik kerabatnya ke berbagai department store. Latar belakang itu sangat membantunya, hingga ia bisa dipercaya menjadi Manajer Pemasaran dan Promosi Mal Citraland. “Di sana orangnya sedikit, sehingga saya bisa belajar banyak,” ujar kelahiran Jakarta, 29 Desember 1965, ini mengenang.

Namun, menjelang Mal Citraland berdiri, ia malah mengundurkan diri. Tepatnya, di tahun ketiga ia bergabung di salah satu usaha Ciputra tersebut. Sebelum keluar dari sana, Budi bersama empat rekannya -- salah satunya, Suwito Santoso, seniornya di Mal Citraland -- melakukan beberapa studi untuk mendirikan usaha, yaitu ProLease. Tahun 1992 ia memulai satu lompatan hidup, dengan membuka usaha sendiri saat usianya baru menginjak 28 tahun. Ada pikiran sederhana yang mendorongnya ganti haluan dari profesional menjadi pengusaha. “Wah, enak nih kalau bisa punya mal, tinggal tunggu orang bayar sewa,” ungkapnya.

Mimpi itu terwujud 12 tahun kemudian. Budilah salah satu otak di balik bangunan megah yang mendampingi Balai Sarbini saat ini, yakni Plaza Semanggi. “Memang itu bidang yang saya kuasai dan kebetulan network-nya juga ada,” katanya. Pengembangan bisnis, menurutnya, harus didasarkan keahlian dan keunggulan kompetitif yang dikuasai. Baginya, kedua hal itu sangat penting dimiliki orang sepertinya yang lahir bukan dari kalangan serba mudah untuk mewujudkan sesuatu. “Saya dan rekan bekerja hingga pukul 1 malam,” katanya bersemangat.

Menempati ruang seluas 24 m2 di lantai dasar Jakarta Design Center, Slipi, waktu itu usaha ProLease dimulai dengan modal sekitar Rp 20 juta. Awalnya, belum ada fokus usaha yang digarapnya. Selain ProLease, ia sempat menjajal bidang perdagangan, walau gagal. Budi juga sempat menggarap foodcourt management dengan nama Food Station, dan ini pula yang mendorongnya keluar dari Mal Citraland karena ingin fokus mengelola foodcourt management

Foodcourt saat itu berbeda dari sekarang yang dikelola oleh pemilik gedungnya. “Waktu itu terpisah, foodcourt management menyewa space, kursi, meja, lalu dicari penyewa, melakukan promosi dan menggarap konsepnya,” katanya. Krisis moneter membuat manajemen sulit bergerak karena sewa ruangnya dalam dolar. Untungnya, pada Maret 1997, sebelum dolar melambung, ia sudah membenahi foodcourt management-nya.

“Berbagai kegagalan tersebut mengajarkan saya untuk fokus,” ujar Budi. ProLease kemudian digarapnya lebih serius. Kebetulan pada awal 1992 ProLease dipercaya menggarap Plaza Malioboro. Secara keseluruhan plaza di Kota Gudeg itu digarap ProLease mulai dari desain, layout, hingga pemasarannya. “Kami hitung-hitung lumayan juga untungnya,” ujarnya tanpa mau menyebut angka. Bisa dibilang, Plaza Malioboro menjadi tonggak sukses usahanya.

Dalam perjalanannya, ProLease menjadi usaha yang membidangi studi kelayakan, agensi dan property atau asset management. Bidang terakhir ternyata menjadi kelebihan ProLease. Krismon 1997 membuat banyak orang menahan diri membangun gedung atau pusat perbelanjaan baru. Waktu itu, banyak kliennya yang sedang dalam studi kelayakan atau membangun atau bahkan sedang memasarkan produk akhirnya mundur satu per satu. Namun, meski kondisi sulit, ProLease mampu bertahan, bahkan tidak mem-PHK seorang pun karyawannya. “Saya ubah strategi agency-nya,” kata Budi. Yakni, melayani developer atau penyewa besar. Saat itu, ia bertemu dengan penyewa besar yang sedang berekspansi. Salah satunya, Continental (sekarang menjadi Carrefour setelah meger), pasar modern asal Prancis yang sedang giat berekspansi ke kawasan Asia. Dari 7 lokasi yang dipilih Continental, empat lokasi diserahkan penggarapannya kepada ProLease, yaitu di Pluit, Ratu Plaza, Lebak Bulus dan Puri Indah.

“Kami pegang prinsip, tidak akan menerima klien dengan tipe usaha yang sama,” katanya. Idealisme juga dipegang kuat, misalnya ketika suatu proyek dinilainya tidak layak, ia akan terus terang kepada klien. Padahal, bisa saja ia menutupi-nutupinya agar bisnis tetap jalan. Pernah suatu ketika, salah satu kliennya ingin membangun proyek di Cimone. Setelah studi kelayakan, proyek itu dianggap tidak layak. “Tidak saya lanjutkan, meski mereka mau maju terus karena merasa ada uangnya,” katanya mengenang.

Keteguhan Budi memegang prinsip diakui Richard Oh, salah satu kliennya hingga kini. Pemilik QB World Book itu menilai Budi memiliki integritas tinggi dan benar-benar tipe orang yang bisa dipercaya. “Dia selalu berpikir untuk kliennya, bukan semata keuntungan. Dia juga sangat pintar dalam segala hal, sikapnya membuat orang percaya dan mau bekerja sama dengannya,” kata Richard yang mengenal Budi 15 tahun lamanya.

Satu keahlian Budi yang tidak dimiliki orang lain adalah membuat aset yang tidak produktif (unutilize building) atau tidak optimal (unoptimalize) menjadi lebih menguntungkan. Beberapa gedung digarapnya, bahkan ia berani investasi sendiri untuk memoles kembali aset-aset yang tidak terpakai atau tidak optimal pemakaiannya. Proyek pertama yang dikerjakannya adalah Graha Asia Work pada 1999. “Gedung itu kusam, tidak terlihat sebelumnya,” ujarnya. Pihak Asia Work saat itu menginginkan gedung yang mampu menggambarkan citranya kendati posisinya di belakang Gedung Sarinah, Thamrin. Budi toh bisa memenuhi hal tersebut. “Gedung itu identik dengan desain kartu nama mereka, apalagi mereka memang membutuhkan ruang luas untuk training center,” ujar ayah dua anak ini. Budi mengeluarkan investasi sendiri untuk me-redevelop dan me-remerchandise gedung tersebut. Guna menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan, ruang bawah gedung tersebut disewakan kepada beberapa pihak seperti Toko Sepatu Bata, Valu$, dan beberapa toko kelontong. “Valu$ di sana menjadi proyek pertama toko berharga sama, lho,” katanya.

Demikian juga dengan Richard Oh, yang meminta Budi mencarikan gedung yang bisa di-retouch untuk QB World Plaza-nya di Pondok Indah. Budi menemukan gedung bekas restoran Country Kitchen sebagai lokasi yang cocok. Hasilnya, gedung dengan warna-warna cerah di arteri Pondok Indah itu menjadi khas QB World Plaza. Tambahan lagi, tanah di belakang restoran tersebut, menurut Budi, ada potensi dioptimalkan kegunaannya. “Kami bangun lagi, lalu dicarikan penyewa lainnya,” ujarnya. Hasilnya, hadirlah Tutor Times, sekolah balita waralaba dari Amerika Serikat, dan pusat perawatan tubuh.

Proyek selanjutnya, ProLease dipercaya mengembangkan tanah seluas 5 ribu m2 di Pulo Mas menjadi plaza. Maka, jadilah Super Indo dan berbagai toko baju untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Plaza Pulo Mas. Lalu, bangunan bekas Toko Sahabat, yang terbakar pada Mei 1998, disentuh kembali oleh ProLease pada 2001 menjadi Plaza Taman Modern yang di dalamnya juga ada Super Indo, Pojok Busana, Valu$, Optik Melawai dan pusat jajan.

Proyek terakhir sekaligus terbesar yang digarap Budi adalah menyulap Graha Purna Yudha (Granadha) di kawasan Semanggi dari gedung tak terpakai menjadi kawasan bisnis besar, Plaza Semanggi. Bermitra dengan beberapa pengusaha seperti Grup Piko, Hari Darmawan Corporation, CNI dan PT Agung Podomoro, ia menjadikan gedung kusam tak terpakai milik Yayasan Gedung Veteran RI tersebut menjadi megah dan indah. “Balai Sarbini jadi dilihat orang lagi, apalagi setelah dijadikan tempat konser spektakuler Indonesian Idol,” ujarnya. Sejatinya, ia dan Hari Darmawan hanya ingin merenovasi gedung bersejarah itu. Hanya saja, mereka punya perjanjian, dalam 5 tahun ke depan sudah bisa menarik investor baru. “Nyatanya, belum 5 tahun investor lain sudah bergabung,” ujarnya sambil tertawa.

Menurutnya, konsep asset management yang dikelolanya tidak sama dengan asset management di AS. “Di sana dibolehkan untuk collecting fund, semacam mutual fund, biasanya disebut real estate investment trust. Di sini tidak bisa, dasar hukumnya belum ada,” katanya. Jadi, asset management yang dikelola Budi hanya melakukan value enhancement. Maksudnya, usaha peningkatan nilai demi mencapai nilai maksimum suatu properti dengan melakukan value creationredevelopment, remerchandising atau perpaduan ketiganya. Keterbatasan aturan di sini membuat Budi harus menyiasatinya dengan lebih jeli untuk memaksimalkan aset yang ada. “Kami menggunakan dana kami sendiri, tapi tidak bisa memindahkan aset itu di bawah kami, hanya bekerja sama dengan pemilik gedung,” katanya.

Bentuk kerja sama itu bisa macam-macam, misalnya bagi hasil, BOT atau sewa jangka panjang. “Variannya pun banyak. Ini juga tergantung titik temu kami dengan pemilik. Mereka kan punya keinginan sendiri,” ujarnya. Hak yang dimiliki ProLease bersifat sementara, jadi tidak bisa menjualnya ke pihak lain. Perjanjian dengan si penyewa -- seperti Asia Works atau QB World Book -- bentuknya beragam. Bisa fix rental, revenue sharing atau bentuk lainnya. Asia Works dan QB World Book, lanjutnya, merupakan penyewa utama (anchor tenant) atas gedung yang digunakan. “Kami tidak akan muncul sebagai asset management gedung tersebut, biarlah si penyewa menikmati kalau gedung tersebut milik mereka,” jelasnya.

Budi mengakui, tidak semua proyeknya berjalan mulus. Plaza Taman Modern di Cakung, misalnya, tidak pas lokasi dan pasarnya. Namun, “Kami sudah selesaikan baik-baik,” ujar pehobi membaca buku ini. Kegagalan ini diakuinya memberi pelajaran tersendiri dalam mengelola bisnis asset management.

Belakangan, kian banyak pemilik uang yang ingin berinvestasi di properti, antara lain di pusat perbelanjaan, hotel, apartemen dan town square. Sebelumnya, pemilik gedung tidak mau menginvestasikan dananya karena mereka tidak mau mengambil risiko. Melihat ini, ProLease yang memiliki jasa konsultan properti, mulai menggiatkan layanan yang sebelumnya kurang bergairah. “Kami akui, asset management sedang turun,” tuturnya. Untungnya, Budi mendapat proyek besar pada akhir 2003, Plaza Semanggi, yang sekaligus membangkitkan kembali usaha yang sebelumnya lama tertidur bersama rekannya Satria Djuanedi. Lalu, di bawah PT Intersatria Budi Perkasa Mulia, dibangunlah Apartemen Casablanca Mansion sebanyak 572 unit di atas tanah seluas 8 ribu m2 yang menghabiskan dana sekitar Rp 200 miliar. “Saya rasa Budi itu figur yang bukan sekadar kontraktor tapi juga punya keahlian marketing, arsitektur dan sangat profesional,” puji Satria.

Bisnis yang dikelola Budi memang tidak gampang. “Mereka kan bukan orang yang tidak punya uang, hanya ditahan saja untuk investasi. Susahnya, setelah mereka percaya, eh minta tambah keuntungannya, repot kan,” katanya sambil terbahak. Di mata dia, jaringan bisnis menjadi kunci utama keberhasilannya. “Proyek bisa berjalan baik berkat orang-orang yang membantu kami, baik konsultan, agensi, penyewa maupun kontraktor,” ungkapnya.

SWA 18/XX/ 2 September 2004
Halaman: 116
Penulis: Herning Banirestu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar